Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan! Pepatah ini
kiranya cukup pas untuk menggambarkan betapa kerasnya perjuangan Retno
Kumala (46), si pemilik kisah Catatan Hitam kali ini. Demi masa depan
kedua anaknya, ia nekad memilih jalan hidup yang mungkin sangat sulit
dijelaskan dengan nalar. Ia rela kawin dengan genderuwo. Ini ia lakukan
bukan semata-mata karena ia mendambakan hidup bahagia dengan limpahan
harta dari suaminya yang berasal dari dunia gaib tersebut. Namun, sekali
lagi, ia melakukannya demi masa depan kedua anaknya yang telah lama
ditinggal pergi oleh ayahnya.
Tapi, bagaimana kenyataan selanjutnya yang harus ia hadapi? Kepada
Pengasuh rubrik kesayangan ini Retno Kumala mengisahkan Catatan Hitam
hidupnya itu secara lengkap. Selamat mengikuti…!
Kehidupan rumah tanggaku pada awalnya sangat bahagia. Suamiku, Warijo,
seorang pria yang sangat bertanggungjawab. Ia juga ayah yang baik dan
sangat menyayangi ketiga anaknya.
Suatu saat kami harus pindah dari Surabaya ke Palembang. Maklum saja,
ketika itu Mas Warijo dimutasi ke kantor cabang perusahaan tempatnya
bekerja dengan posisi dan jabatan, juga gaji yang tentu saja jauh lebih
baik. Semula kami berharap akan mendapatkan kehidupan yang lebih bahagia
lagi di tempat baru ini, namun justeru di Kota Empek Empek inilah
kepahitan itu berawal.
Ya, tragedi itu bermula dari vonis kanker otak terhadap anak ketiga kami
Bambang Prihandoko, yang ketika itu baru berumur 3,5 tahun. Kenyataan
ini sungguh memukul batinku, juga batin suamiku. Sejak si bungsu divonis
mengidap kanker otak, kulihat Mas Warijo sering melamun seorang diri.
Memang, dibanding kedua anaknya yang lain, Mas Warijo jauh lebih
menyayangi si bungsu, sebab sejak bayi merah anak ini memang sering
sakit-sakitan sehingga membutuhkan perhatian ekstra dari kami. Mungkin
karena itulah tumbuh kasih sayang yang sangat besar dari kami berdua,
terutama Mas Warijo yang pernah menyebut Bambang sebagai “anak yang akan
memiliki banyak keajaiban,” sebab ketika aku mengandungnya Mas Warijo
mengaku sering bermimpi ditemui seorang kakek bersorban putih mirip
sosok wali, yang menitipkan anak padanya. Namun, mimpi hanyalah mimpi.
Kenyataan tetap berbicara lain.
Meski biaya pengobatan si kecil ditanggung oleh Asuransi Kesehatan
(ASKES) dari perusahaan tempat Mas Warijo bekerja, namun karena penyakit
yang diderita oleh Bambang relatif langka dan sulit disembuhkan, maka
usaha kami membawanya berobat ke berbagai rumah sakit ternama di Kota
Palembang sepertinya hanya sia-sia saja. Bila sedang kumat si kecil
Bambang sering jatuh pingsan, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa,
kecuali hanya membawanya ke rumah sakit untuk sekedar mendapatkan
penangangan gawat darurat.
Kami hampir putus asa menghadapi keadaan si bungsu. Puncaknya, pada
musim libur hari raya Idul Fitri di tahun 2005 silam, kami sekeluarga
memutuskan mudik ke kampung halamanku di Wonogiri, Jawa Timur. Disamping
ingin berlebaran bersama keluarga, rencananya kesempatan ini juga akan
kami gunakan untuk mencari cara alternatif guna mengobati penyakit
Bambang.
Manusia hanya bisa berencana, sedang Tuhan juga yang menentukan. Itulah
yang terjadi. Seminggu setelah tinggal di rumah orang tuaku untuk
menikmati liburan, dan sebelum sempat kami membawa Bambang berobat
secara alternatif, ternyata Tuhan telah memanggilnya lebih dulu. Bambang
menghembuskan nafas terakhirnya dalam gendongan ayahnya.
Kepahitan ini terjadi hanya 3 hari setelah hari raya Idul Fitri. Betapa
berdukanya kami sekeluarga karena kepergian Bambang jatuh pada hari yang
semestinya penuh dengan kabahagiaan. Apalagi malam harinya Bambang
masih sehat dan bermain-main dengan kami. Baru menjelang subuh ia
pingsan setelah lebih dulu kejang karena menahan sakit pada kepalanya,
sampai akhirnya ia tak kuat lagi melawan rasa sakit itu.
Kepergian si bungsu sungguh merupakan kehilangan yang teramat besar bagi
kami. Sebagai ibu yang merawatnya sejak masih dalam kandungan, sudah
barang tentu sulit bagiku untuk mengikhlaskan kepergiannya. Mas Warijo
pun sepertinya merasakan hal yang sama. Namun sebagai lelaki ia sudah
pasti jauh lebih kuat jika dibandingkan denganku. Buktinya, walau masih
dalam kedukaan, karena masa liburan yang sudah habis, maka itu setelah
selamatan tujuh hari kepergian Bambang, Mas Warijo kembali ke Palembang
untuk melakukan rutinitasnya sebagai seorang karyawan sebuah perusahaan
swasta. Sementara itu aku sendiri lebih memilih untuk tetap tinggal di
rumah orang tuaku. Demikian pula dengan kedua anakku yang ketika itu
baru duduk di kelas satu dan dua SMP. Mereka tetap tinggal di Wonogiri,
bahkan karena kedekatan dengan kakek dan neneknya kedua anakku ini
memilih pindah sekolah.
Sejak kepergian si bungsu, hari-hari yang kulalui terasa sangat hampa.
Berat pula bagiku untuk kembali ke Palembang mengingat kedua putra dan
putriku juga enggan untuk menyusul ayahnya pulang ke sana. Kerana
keadaan ini pada akhirnya aku pun lebih memilih tinggal di Wonogiri.
Suamiku cukup mengerti dengan pilihanku ini. Ia tahu pasti kalau kondisi
jiwaku masih sangat labil.
Lima bulan berlalu sejak kematian si bungsu, Mas Warijo masih rutin
mengirimi kami uang untuk biaya hidup setiap bulannya. Di bulan ke 6
sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadilah. Kiriman uang dari
Mas Warijo tak kunjung tiba sesuai jadwal biasanya. Mendapati kenyataan
ini, kucoba menghungunginya lewat ponsel miliknya, tapi ternyata
mailboks. Ketika kukontak lewat telepon kantor, pihak resepsionis malah
mengatakan kalau Mas Warijo sudah mengundurkan diri sejak sebulan lalu.
Berita ini benar-benar membuatku pusing tujuh keliling. Mengapa Mas
Warijo mengundurkan diri dari pekerjaan dengan tanpa terlebih dahulu
meminta pendapatku, atau setidaknya memberitahuku? Apa yang telah
terjadi dengannya? Mengapa ia begitu berani mengambil keputusan yang
sedemikian gegabah? Apakah ia sudah mendapatkan pekerjaan lain yang jauh
lebih menjanjikan?
Setumpuk pertanyaan itu tak pernah kudapatkan jawabannya, sebab sejak
kuterima berita itu Mas Warijo seolah telah menghilang dari jagat raya
ini. Tak pernah secuilpun kudengar kabar tentang dirinya. Berulang kali
kuhubungi nomor ponselnya, namun yang kudengar hanya suara operator yang
mengatakan bahwa nomor tersebut tak dapat dihubungi.
Betapa kecewa hatiku, sebab Mas Warijo pun sama sekali tak pernah mengontakku walau hanya sekejap saja.
Kemana perginya Mas Warijo? Tak ada seorang pun yang bisa menjawabnya.
Ia telah pergi tanpa pesan. Meninggalkanku dengan dua orang anak yang
masih membutuhkan biaya hidup yang sangat besar, terutama untuk
pendidikannya.
Di tengah keputusasaan aku bertemu dengan sahabatku semasa SMA dulu.
Sebut saja namanya Yulianah. Waktu itu aku sangat surpraise melihat
keadaan Yulianah yang sepertinya sudah jadi orang sukses. Ia bisa nyetir
sendiri mobilnya yang bagus dan sangat mewah menurutku. Tak hanya itu,
ia juga sudah menyandang gelar sebagai seorang Hajjah, dan ia nampak
cantik sekali dengan balutan busana muslimah.
Bagaimana ceritanya sampai kehidupan Yulianah bisa berubah dengan
sedemikian drastis? Padahal, aku tahu persis bagaimana asal-usul
sahabatku ini. Ia lahir dari keluarga petani yang sangat miskin. Bahkan
sewaktu sekolah dulu ia sering menunggak SPP, dan kalau jajan di kantin
sering kali aku yang mentraktirnya.
Melihat Yulianah yang sudah hidup senang, terus terang saja aku merasa
sangat iri padanya. Sahabatku ini seolah-olah bisa membaca perasaanku.
Buktinya, seminggu setelah bertemu dengannya, ia mengundangku datang ke
rumahnya.
Ketika aku sampai di rumahnya, kekagumanku padanya semakin besar saja.
Bagaimana tidak? Kulihat rumah Yulianah yang megah dan cukup mewah
menurut ukuranku.
“Kemana suamimu, Yul?” tanyaku ketika itu saat melihat suasana rumah yang sepi.
Yuliana tersenyum sambil menyuguhkan cemilan di hadapanku. “Aku sudah 5 tahun menjanda, Ret!” katanya.
Mendengar jawabannya, aku merasa sedikit tak enak hati. Namun, Yulianah
sepertinya tidak merisaukan pertanyaanku barusan. Nyatanya ia segera
menyambung penjelasannya.
“Suamiku selingkuh, jadi kupikir mending bercerai saja. Lagi pula,
sekarang ini keadaanku sudah cukup mapan. Karena itu meski mantan
suamiku sering meminta ingin kembali, tapi dengan tegas selalu kutolak.
Apalagi kedua anakku juga sudah besar. Mereka tidak pernah menanyakan
Bapaknya. Ya, beginilah kehidupanku, dan aku merasa cukup bahagia meski
tanpa suami. Oya, bagaimana keadaanmu rumah tanggamu, Retno?”
Karena ditodong pertanyaan seperti itu, akhirnya tanpa tedeng
aling-aling kuceritakan bagaimana porak-porandanya keluargaku. Sebagai
sahabat, sepertinya Yulianah sangat tersentuh mendengar ceritaku.
Ia berkata setelah menyimak ceritaku, “Aku ini tetap sahabatmu, Retno.
Karena itu aku juga ingin melihat hidupmu bahagia. Masalahnya, apakah
kau mau melakukan solusi yang akan kuberikan, dan apakah kau akan
mempercayainya?”
“Seperti apa solusi yang kau tawarkan itu, Yul?” aku balik bertanya.
“Kau harus kawin dengan genderuwo!”
Betapa terkejutnya aku mendengar jawaban dari mulut mungil sahabatku
ini. Bagaimana mungkin Yulianah yang sudah menyandang titel sebagai
seorang Hajjah itu sampai tega hati menawarkan solusi sesat itu padaku?
Seolah bisa membaca keterkejutanku, Yulianah buru-buru menyambung
ucapannya sambil tersenyum, “Kau jangan buru-buru berpikiran negatif!
Kau pasti menyangka ini semacam pesugihan bukan? Sama sekali tidak,
Retno! Menurutku ini halal. Kau akan dinikahkan dengan makhluk itu
secara Islam. Selama kau menjadi isterinya, genderuwo itu akan
menafkahimu secara lahir dan batin. Bila kau sudah merasa punya cukup
modal, kau bisa bercerai dengannya. Dan yang paling penting, ritual ini
tidak ada tumbal macam-macam. Asal kau tahu saja, aku bisa seperti ini
juga kerana melakukan ritual itu. Setahun lalu aku minta cerai sebab aku
sudah merasa punya cukup modal untuk berusaha sendiri. Genderuwo itu
bersedia menceraikanku, dan sekarang hidupku tenang sebab aku juga bisa
menjalankan ibadah.”
Setelah mendengar penjelasan Yulianah seperti itu, akupun mulai tertarik
untuk mengikuti jejaknya. Terlebih lagi kehidupan saat itu memang
sangat susah. Bapakku yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga
sudah berhenti bekerja\ karena penyakit diabetes yang merongrong
tubuhnya. Belum lagi aku juga harus memikirkan biaya sekolah dan masa
depan kedua anakku. Walau bagaimana pun mereka harus terus sekolah dan
kuliah sampai ke perguruan tinggi.
Dengan kedua alasan tersebut akhirnya aku meminta Yulianah untuk
mengantarkanku ke rumah “orang pintar” yang katanya sudah biasa memandu
ritual kawin dengan genderuwo itu.
Singkat cerita, Yulianah mempertemukanku dengan Ki Badrowi, sebetulah
begitu, paranormal yang biasa mengawinkan manusia dengan genderuwo.
Setelah mendengarkan penjelasan tentang keinginanku yang disampaikan
oleh Yulianah, Ki Badrowi mengaku bersedia membantu. Namun aku diminta
untuk mempersiapkan semua kelengkapannya, seperti Apel Jin dan berbagai
sarana lain untuk selamatan ritual perkawinan itu nantinya. Yulianah
bersedia membantuku menyaiaokan semua keperluan ini.
Benar juga kata Yulianah. Ritual perkawinan itu memang seperti halnya
prosesi perkawinan dalam aturan hukum Islam. Artinya, ada saksi,
penghulu, wali, pengantin, dan juga ijab kabul, bahkan juga mas kawin
berupa cincin emas seberat 1 gram. Untuk wali langsung diwakilkan kepada
Ki Badrowi, sebab ayahku memang tidak mungkin bisa dihadirkan. Jadi,
dalam prosesi pernikahan itu Ki Badrowi bertindak sebagai wali sekaligus
penghulunya.
Karena mempelai lelaki tak bisa dilihat oleh mataku, maka proses ijab
kabul pun sangat janggal menurutku. Sama sekali tidak ada ucapan akad
nikah, meski kemudian wali dan saksi langsung mengesahkannya.
Yang juga terasa aneh, setelah prosesi pernikahan selesai, Yulianah
berbisik di telingaku, “Suamimu itu tampan sekali, Retno. Kau beruntung
mendapatkannya!”
Tampan? Bagaimana mungkin Yulianah mengatakan ini padaku, padahal aku
sama sekali tidak melihat keberadaan suamiku itu. Apakah memang Yulianah
bisa melihat perwujudannya sehingga ia berkata demikian?
Aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku meyakini kalau Yulianah hanya
membohongiku. Buktinya, aku mengalami ketakutan yang teramat sangat
ketika di malam Jum’at Kliwon itu suamiku gaibku datang dan ingin
menjalankan kewajibannya di malam pertama. Memang, sesuai dengan pesan
Ki Badrowi, malam pertamaku dengan suamiku yang genderuwo itu akan
dimulai persis pada malam Jum’at Kliwon. Dan, menurut paranormal itu,
setelah menjalankan kewajibannya di malam pertama, maka suamiku itu akan
memberikan nafkah materinya berupa tumpukan uang dalam jumlah yang
lebih dari mencukupi.
Persis di malam Jum’at itu kebetulan di kampung tempatku tinggal sedang
ada orang hajatan dengan hiburan musik dangdut. Kedua anakku sejak sore
sudah minta ditemani nonton. Karena ada niatan khusus, sudah tentu aku
menyuruh mereka pergi nonton sendiri-sendiri. Yang tinggal di rumah
ayahku yang terbaring sakit dan ibu yang selalu setia menemaninya.
Menjelang pukul 12 malam kedua anakku pulang, dan mereka tidur di kamar
depan. Aku sendiri masih menunggu apa yang akan terjadi. Pintu kamar
kukunci rapat-rapat, meski udara malam itu terasa sangat panas dan
gerah.
Sesuai dengan pesan Ki Badrowi aku sudah berdandan cantik dengan pakaian
yang diaromai oleh minyak khusus pemberian dukun itu, yang baunya cukup
menyengat. Aku tak ubahnya seperti pengantin perempuan yang sedang
menunggu kehadiran sang pengantin pria untuk menikmati bulan madu.
Menjelang pukul satu dinihari masih tetap tidak terjadi apa-apa. Akupun
mulai lelah menunggu. Sambil menahan kantuk kurebahkan tubuhku di atas
ranjang. Ketika rasa kantuk sudah mulai menggayuti pelupuk mataku,
antara sadar dan tidak aku dikejutkan oleh sesuatu yang terjadi di dalam
kamarku.
Aneh sekali, sosok bayangan hitam sepertinya tiba-tiba muncul dari balik
dinding. Beberapa saat kemudian bayangan itu semakin mempertegas
wujudnya. Ya, seorang lelaki tinggi besar, berbadan hitam dan licin
berkilat. Dan yang sungguh aneh, dia sama sekali tidak mengenakan
pakaian walau sehelai benang pun.
Siapakah lelaki tinggi besar ini? Apakah dia genderuwo yang telah sah
menjadi suamiku? Mengapa sosoknya sedemikian menyeramkan? Padahal,
Yulianah bilang suamiku ini sangat tampan. Apakah Yulianah benar-benar
sudah membohongiku?
Berbagai pertanyaan itu mendera batinku. Kulihat lelaki bugil itu
berdiri sambil memandangi tubuhku. Kemudian pelan-pelan ia menunduk dan
tangannya menyentuh pipiku. Aku bergidik dan berusaha berontak, namun
anehnya seketika itu tubuhku berubah sangat kaku seperti terpasung oleh
suatu kekuatan gaib.
Dengan sangat ketakutan aku hanya bisa pasrah menghadapi sentuhan
makhluk itu. Setelah ia menyentuh pipiku, lalu ia mengendus aroma
rambutku yang tergerai, lalu hidung dan bibirnya menjelar di permukaan
pipi, hidung, bibir dan daguku.
Sejekap kemudian, lelaki menyeramkan itu seperti kalap. Tangannya yang
kekar melingkar di sekujur tubuhku, hingga membuat nafasku semakin
sesak. Bibirnya melumat bibirku, dan sepasang kakinya yang licin
mengkilat itu mengapit kedua belah kakiku dan berusaha
mengangkangkannya.
“Tolooong…!!” Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Namun celakanya
mulutku bagai tersumbat. Teriakanku hanya menggema di dalam rongga
dadaku.
Tangan pria aneh itu semakin liar menggerayanghi tubuhku, sebelum
akhirnya membuka bajuku dan melepaskan kain yang kupakai. Desah nafasnya
yang memburu bagaikan sebuah kekuatan hipnotis yang membuatku hampir
saja hilang kesadaran.
Tetapi, Tuhan menyayangiku. Dalam keadaan yang sangat kritis itu
tiba-tiba saja mulutku berucap dengan lantang, “Astagfirullah…Allahu
Akbar…Laa Khaula Walaa Kuwwata Illah Billah…!!”
Ya, sekali ini suara itu benar-benar keluar dari mulutku. Dan yang
terjadi di hadapanku sungguh sebuah kenyataan yang sulit dimengerti.
Mendadak saja lelaki telanjang itu terpental dari atas tubuhku, sambil
mengerang keras seperti seekor anjing yang terluka. Bersamaan dengan itu
tubuhku yang semula kaku dapat digerakkan kembali. Spontan aku melompat
dari tempat tidur sambil menjerit-jerit memuji kebesaran Allah.
“Laa Ilaaha Illallah…Allahu Akbar…Subhanallah…!”
Pujian-pujian itu keluar begitu saja dari mulutku, dengan suara yang
lantang. Sama seperti kejadian semula, sosok makhluk itu mengubah
wujudnya menjadi bayangan hitam lalu hilang seolah masuk ke dalam
dinding.
Tak lama kemudian kedua anakku menggedor-gedor pintu sambil
memanggil-manggil “mama”. Ketika pintu kubuka mereka langsung
berhamburan memelukku dan langsung bertangisan.
“Apa yang terjadi, Ma?” tanya Angga, anak sulungku.
Aku hanya menggeleng-geleng sambil membiarkan air mataku mengalir deras
membasahi sekujur wajahku. Sungguh aku tak kuasa menjelaskan semua ini
kepada kedua anakku. Aku tak ingin melukai perasaan mereka. Aku tak
ingin mereka menudingku telah melakukan kesesatan hanya karena tak tahan
menanggung kesusahan hidup….
Siang setelah malamnya mengalami kejadian aneh tersebut, Yulianah datang
menemuiku dan mengatakan kalau aku telah gagal dalam melakukan ritual.
“Biarlah kujalani kehidupan seperti ini, Yul! Aku tak ingin lagi
melakukan ritual kawin dengan genderuwo itu,” kataku setelah mendengar
penjelasan Yulianah.
Meski mengaku kecewa, namun Yulianah cukup mengerti dengan perasaanku.
Sebagai sahabat, ia juga meminta agar aku tidak sungkan-sungkan meminta
bantuan padanya bila aku memerlukannya. Namun sejujurnya, aku tak pernah
berani meminjam uang kepada sahabatku ini walau dalam keadaan sesulit
apapun. Ini semata-mata kulakukan karena aku takut sesuatu akan terjadi
terhadap diriku.
Ketika kuputuskan mencurahkan kisah ini kepada Bung Prayoga Gemilang,
tak terasa sudah hampir setengah tahun peristiwa itu berlalu. Walau
begitu, aku masih mengalami perasaan traumatik, sebab bayangan lelaki
alam gaib itu masih sering menghantuiku. Ia sering datang dalam mimpiku
dan menagih malam pertamanya padaku.
Kenyataan tersebut sejujurnya membuat hidupku sangat tercekam. Karena
itulah kumohon kepada Bung Prayoga agar memberikan doa atau amalan untuk
menghilangkan keanehan ini. Dan aku juga ingin agar diberi kemudahan
dalam mencari rezeki, sebab kini aku menjalankan usaha mengkreditkan
barang kebutuhan rumah kepada para konsumen. Aku juga ingin Bung Prayoga
menerawang jejak keberadaan suamiku. Semoga Bung Prayoga dapat
memberikan solusi yang terbaik bagiku….